Di Resort Sekoci Lepan, Besitang, Taman Nasional Gunung Leuser dulu sering terjadi perambahan hutan dan menyebabkan ekosistem di kawasan tersebut rusak. Belakangan, melalui program Kemitraan Konservasi oleh pemerintah, sudah banyak masyarakat yang dulunya perambah hutan mulai sadar dan beralih menjadi petani sembari menjaga hutan agar tidak dirambah lagi.
Namun masih banyak di antara mereka yang belum optimal mengelola lahannya karena berbagai kendala diantaranya karena keterbatasan pengetahuan mengenai pertanian. Alhasil, hasil panen mereka masih sedikit dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Mereka juga kekurangan modal, sehingga dan kerap terjebak utang.
Mengatasi kondisi yang terjadi di kawasan TNGL ini, Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI), lembaga konservasi lokal yang berbasis di Medan, Sumatera Utara, telah menjalankan program “Peningkatan Mata Pencaharian Masyarakat dan Pemulihan Ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) secara Partisipatif” di Resort Sekoci Lepan, Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Implementasi program ini diawali dengan melaksanakan kegiatan “Penyusunan Rencana Aksi Pengelolaan Areal Kemitraan Konservasi (KK) melalui Pendekatan Kajian Penghidupan Lestari (KPL)/Sustainable Livelihood Assessment (SLA)”.
Direktur Yayasan PETAI, Masrizal Saraan, menjelaskan, SLA merupakan sebuah metode atau cara untuk meningkatkan pemahaman tentang mata pencaharian masyarakat, menemukan faktor-faktor utama yang mempengaruhi mata pencaharian masyarakat dan tipikal hubungan antara faktor-faktor tersebut.
“SLA juga dapat digunakan untuk merencanakan kegiatan baru dan mengkaji kontribusi kegiatan yang ada, yang telah dibuat untuk mempertahankan mata pencaharian berkelanjutan,” kata Masrizal.
“Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian kawasanTNGL dengan mengelola areal kemitraan konservasi,” kata Masrizal.
SLA merupakan sebuah metode atau cara untuk meningkatkan pemahaman tentang mata pencaharian masyarakat, menemukan faktor-faktor utama yang mempengaruhi mata pencaharian masyarakat dan tipikal hubungan antara faktor-faktor tersebut.
Direktur Yayasan PETAI, Masrizal Saraan
Yayasan PETAI telah melakukan kajian SLA pada areal kemitraan konservasi (KK), yang dikelola oleh 15 Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) dan sudah memiliki Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan BBTN Gunung Leuser. KTHK tersebut yaitu KTHK Cinta Makmur, KTHK Sejahtera, KTHK Mandiri, KTHK Bina Lestari, KTHK Rindang, KTHK Mekar Tani, KTHK Sumur Cincin, KTHK Bina Lingkungan, KTHK Bamban Makmur, KTHK Bamban Sejahtera, KTHK Karya Lestari, Karya Makmur, KTHK Mawar, KTHK Makmur Tani.
Setiap KTHK diwakili 3-4 orang anggota dimana setiap pertemuan juga melibatkan staf TNGL. Pada awal pertemuan disepakati terlebih dahulu kontrak belajar. Pertemuan dilakukan untuk mengidentifikasi kendala dan peluang serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan areal kemitraan konservasi dan penyusunan rencana aksi prioritas-terintegrasi (mencakup agroforestry berbasis komoditas potensial).
Hasil kajian melalui SLA mengungkap bahwa hanya sebagian kecil petani yang sudah mendapat pengetahuan tentang perawatan tanaman. Sebagian besar belum memiliki pengetahuan tentang pengendalian hama dan penyakit tanaman. Mereka memerlukan peningkatan pengetahuan tentang perawatan dan pemeliharaan tanaman serta pengendalian hama.
Selain itu, disimpulkan juga bahwa sebagain besar petani masih bergantung pada pupuk kimia. Pemakaian pupuk kandang juga dilakukan, namun hanya untuk sebagian daerah, seperti di Bamban, biaya logistik sangat mahal.
Untungnya, beberapa anggota KTHK telah mempunyai pengalaman dalam menanam palawija seperti cabai, sehingga mereka cukup optimis penanaman palawija dapat menambah penghasilan mereka. Hal ini juga dimanfaatkan oleh Yayasan PETAI untuk melakukan peningkatan kapasitas anggota KTHK tersebut dalam budidaya berbagai tanaman pertanian, seperti cabai, kacang tanah, semangka, jeruk, buah naga, jengkol, petai dan tanaman produktif lainnya.
Masrizal berharap pihaknya dapat tetap mendampingi KTHK, karena berdasarkan hasil SLA, KTHK-KTHK di Resort Sekoci Lepan masih sangat memerlukan pendampingan dalam mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang KTHK dalam menjalankan program kemitraan konservasi.
“Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian kawasanTNGL dengan mengelola areal kemitraan konservasi, sekaligus meningkatkan pendapatan mereka dari pertanian yang mereka kelola,” kata Masrizal.
Foto-foto: Arsip Yayasan PETAI